Get me outta here!

Selasa, 18 Desember 2012

Sinopsis - PULANG, toha mohtar

               Rasanya tidaklah seperti menginjakan kaki di atas tanah sendiri, yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Bau tanah yang naik oleh turunnya hujan sepanjang hari, seperti terasa menjalari seluruh rongga dada, seperti menggerakan pembuluh darah sekujur tubuh. Ia pernah merasakan hujan seperti ini, sebagai serdadu pernah bergelut dengan lumpurnya laut di seberang. Dia berdiri di pinggir desanya untuk pertama kali, ada sesuatau yang lain, sesuatu yang tersendiri, yang selama ini mampu menghidupkan mimpi dan kenangan yang begitu indah.
            Ada sesuatu yang terasa memenuhi dada, yang seperti hendak memecahkannya, tetapi itu tidak hendak meledak dan jika itu mampu keluar, maka itu hanya berujud setetes air yang turun pelan dari matanya. Tidak lagi di rasanya berat ransel yang menekan punggung, sepatunya yang penuh lumpur dan pakaiannya yang setengah basah. Bertahun-tahun lamanya ia berdoa untuk kepulangan ini. Ia masih berdiri di samping pagar. Alangkah beratnya kaki untuk melangkah masuk, sekalipun ia yakin bahwa itu adalah rumahnya, dari pintu samping ia dapat melihat perempuan tua berjalan ke luar, mengumpulkan kayu. Sekalipun ia tahu itu adalah ibunya, ia tak kuasa berteriak, kejadian itu hanya mengubah derasnya air mata.
            Perempuan tua itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu melepaskan teriakan yang menyayat keheningan. Mata yang kering itu lalu basah dan tetesan airnya jatuh menuruni pipinya yang cekung. Ia segera masuk rumah menjabat tangan ayahnya dan adik perempuannya, Sumi. Sejak malam itu, keluarganya diliputi rasa gembira yang tidak pernah mereka rasakan.
            Pagi-pagi, ketika langkah orang menuju ke pasar telah ramai, Tamin telah terbangun. Ia berjalan menuju kandang sapi yang sudah lama tidak terisi lagi. Tamin berdiri di sana seperti seorang serdadu, pakaiannya telah basah oleh keringat. Kandang itu kini telah bersih dan terlihat lebih baik. Tamin bertekad akan membeli sapi untuk mengisi kembali kandang itu dan membantu membajak di sawah, tetapi ketika ibunya mengatakan kepadanya bahwa sawah mereka telah terjual, Tamin berusaha agar tanah itu dapat dibelinya kembali.
            Ia berjongkok membuka ranselnya dengan tangan gemetar. Dibukanya kotak kaleng yang berisi sedikit uang dan sebuah kalung emas. Pagi masih gelap, Tamin dan Sumi telah berjalan menuju kota umtuk menjual kalung tersebut dan membelikan Sumi sebuah cita. Selain itu, usahanya untuk membeli kembali tanah mereka juga berhasil dengan lancar.
            Sejak hari itu, Tamin menghabiskan hari-harinya di tengah sawah bersama cangkul dan alat bajak yang kembali mengkilau karena digunakan kembali. Sumi pun tidak berkerja telalu berat lagi, ia hanya berkerja di rumah dan setiap siang mengantarkan Tamin makanan ke sawah. Sejak hadirnya Tamin, hidup mereka terasa lebih berwarna. Pertama kali ketika Tamin menembang, seluruh warga desa tersentak mendengarkan suara yang merdu itu.
            Suatu hari, Sumi terlambat mengantarkan makanan, dengan kesal ia berpantun keras-keras. Tidak beberapa lama Sumi muncul dengan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Gadis itu berbelok ke sawah yang lain setelah berjarak tiga pematang dari gubuknya. Jarak itu cukup bagi tamin untuk mengetahui betapa bersih tangan gadis itu, betapa bulat wajahnya dan matanya yang bening. Sumi memperkenalkan temannya itu, bernama Isah anaknya Pak Makin yang pernah ia ceritakan. Pertemuan yang singkat itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh, yang melupakannya dari lelah.
            Hari-hari berikutnya, ia selalu menanti kedatangan Sumi dengan berdebar-debar karena ia tahu Sumi tidak sendiri lagi. Hari itu, orang yang ditunggunya tidak kunjung datang hanya Sumi seoarang. Seolah mengetahui apa yang dipikirka Tamin, ia menjelaskan bahwa Pak Makin sakit sehingga Isah tidak bersamanya. Dekat belokan jalan menuju rumahnya ia berhenti, dan tak lagi dapat mengerakan kakinya sebab dari belokan muncul seorang gadis yang juga terdiam menatapnya. Setelah cukup lama bertatapan akhirnya mereka berdua berbicara dengan percakapan yang sangat singkat.
            Tamin menceritakan semuanya kepada ibunya, tentang kisah cintanya selama tujuh tahun berada di Negara orang. Ibunya diam tidak bergerak, tenggelam dalam cerita anaknya. Hatinya membayangkan bagaimana sekirannya cerita itu jika berkhir lain, mungkin ia akan bisa melihat menantu dan cucunya. Malam itu adalah pertama kali Tamin menampakan wajahnya sejak datang ke desa. Mereka membahas tentang perbaikan makam Gamik dan Pardan.
            Cerita kematian Gamik menjadi acara yang paling menarik, sekalipun itu telah berulang kali didengar. Malam itu, Tamin memulai cerita khayalnya, ia tidak ingin seluruh warga desa menjauhinya apabila tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cerita itu semakin luas beredar di seluruh desa, sehingga Tamin menjadi gelisah, takut jika kebohongannya itu terbongkar. Diselimuti perasaan yang kacau, Tamin pergi meninggalkan desanya, tanpa tahu arah.
            Tamin berdiri, berjalan pelan di pinggir bengawan, matanya mengawasi air keruh yang berputar-putar, ia tahu kekuatan yang dibawa arus itu, sekali lompat saja seluruh tanggungan hati akan hanyut ikut bersama bangkainya di dasar laut. Pertemuannya dengan seorang tukang getek membukakan pintu hatinya, ia pergi ke kota untuk melanjutkan cita-citanya.
            Empat bulan telah berlalu, dengan pekerjaannya sekarang, Tamin tidak dapar merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakanya di sawah. Sesuatu yang tak terduga olehnya, ia bertemu dengan Pak Banji, yang menceritakan semuannya kepadanya, tentang kematian ayahnya dan panen padi keluarganya. Kesedihan menyelimuti hatinya, dengan tekad bulat ia kembali ke desa, mengunjungi makam ayahnya dan ia berjanji tidak akan meninggalkan orang yang dicintainya lagi. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh ibu dan adiknya, Sumi.

0 komentar:

Posting Komentar