Ada sesuatu yang terasa memenuhi dada, yang seperti hendak
memecahkannya, tetapi itu tidak hendak meledak dan jika itu mampu
keluar, maka itu hanya berujud setetes air yang turun pelan dari
matanya. Tidak lagi di rasanya berat ransel yang menekan punggung,
sepatunya yang penuh lumpur dan pakaiannya yang setengah basah.
Bertahun-tahun lamanya ia berdoa untuk kepulangan ini. Ia masih berdiri
di samping pagar. Alangkah beratnya kaki untuk melangkah masuk,
sekalipun ia yakin bahwa itu adalah rumahnya, dari pintu samping ia
dapat melihat perempuan tua berjalan ke luar, mengumpulkan kayu.
Sekalipun ia tahu itu adalah ibunya, ia tak kuasa berteriak, kejadian
itu hanya mengubah derasnya air mata.
Perempuan tua itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu melepaskan
teriakan yang menyayat keheningan. Mata yang kering itu lalu basah dan
tetesan airnya jatuh menuruni pipinya yang cekung. Ia segera masuk rumah
menjabat tangan ayahnya dan adik perempuannya, Sumi. Sejak malam itu,
keluarganya diliputi rasa gembira yang tidak pernah mereka rasakan.
Pagi-pagi, ketika langkah orang menuju ke pasar telah ramai, Tamin
telah terbangun. Ia berjalan menuju kandang sapi yang sudah lama tidak
terisi lagi. Tamin berdiri di sana seperti seorang serdadu, pakaiannya
telah basah oleh keringat. Kandang itu kini telah bersih dan terlihat
lebih baik. Tamin bertekad akan membeli sapi untuk mengisi kembali
kandang itu dan membantu membajak di sawah, tetapi ketika ibunya
mengatakan kepadanya bahwa sawah mereka telah terjual, Tamin berusaha
agar tanah itu dapat dibelinya kembali.
Ia berjongkok membuka ranselnya dengan tangan gemetar. Dibukanya kotak
kaleng yang berisi sedikit uang dan sebuah kalung emas. Pagi masih
gelap, Tamin dan Sumi telah berjalan menuju kota umtuk menjual kalung
tersebut dan membelikan Sumi sebuah cita. Selain itu, usahanya untuk
membeli kembali tanah mereka juga berhasil dengan lancar.
Sejak hari itu, Tamin menghabiskan hari-harinya di tengah sawah bersama
cangkul dan alat bajak yang kembali mengkilau karena digunakan kembali.
Sumi pun tidak berkerja telalu berat lagi, ia hanya berkerja di rumah
dan setiap siang mengantarkan Tamin makanan ke sawah. Sejak hadirnya
Tamin, hidup mereka terasa lebih berwarna. Pertama kali ketika Tamin
menembang, seluruh warga desa tersentak mendengarkan suara yang merdu
itu.
Suatu hari, Sumi terlambat mengantarkan makanan, dengan kesal ia
berpantun keras-keras. Tidak beberapa lama Sumi muncul dengan seorang
gadis yang tidak dikenalnya. Gadis itu berbelok ke sawah yang lain
setelah berjarak tiga pematang dari gubuknya. Jarak itu cukup bagi tamin
untuk mengetahui betapa bersih tangan gadis itu, betapa bulat wajahnya
dan matanya yang bening. Sumi memperkenalkan temannya itu, bernama Isah
anaknya Pak Makin yang pernah ia ceritakan. Pertemuan yang singkat itu
membuatnya merasakan sesuatu yang aneh, yang melupakannya dari lelah.
Hari-hari berikutnya, ia selalu menanti kedatangan Sumi dengan
berdebar-debar karena ia tahu Sumi tidak sendiri lagi. Hari itu, orang
yang ditunggunya tidak kunjung datang hanya Sumi seoarang. Seolah
mengetahui apa yang dipikirka Tamin, ia menjelaskan bahwa Pak Makin
sakit sehingga Isah tidak bersamanya. Dekat belokan jalan menuju
rumahnya ia berhenti, dan tak lagi dapat mengerakan kakinya sebab dari
belokan muncul seorang gadis yang juga terdiam menatapnya. Setelah cukup
lama bertatapan akhirnya mereka berdua berbicara dengan percakapan yang
sangat singkat.
Tamin menceritakan semuanya kepada ibunya, tentang kisah cintanya
selama tujuh tahun berada di Negara orang. Ibunya diam tidak bergerak,
tenggelam dalam cerita anaknya. Hatinya membayangkan bagaimana
sekirannya cerita itu jika berkhir lain, mungkin ia akan bisa melihat
menantu dan cucunya. Malam itu adalah pertama kali Tamin menampakan
wajahnya sejak datang ke desa. Mereka membahas tentang perbaikan makam
Gamik dan Pardan.
Cerita kematian Gamik menjadi acara yang paling menarik, sekalipun itu
telah berulang kali didengar. Malam itu, Tamin memulai cerita khayalnya,
ia tidak ingin seluruh warga desa menjauhinya apabila tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Cerita itu semakin luas beredar di seluruh desa,
sehingga Tamin menjadi gelisah, takut jika kebohongannya itu terbongkar.
Diselimuti perasaan yang kacau, Tamin pergi meninggalkan desanya, tanpa
tahu arah.
Tamin berdiri, berjalan pelan di pinggir bengawan, matanya mengawasi
air keruh yang berputar-putar, ia tahu kekuatan yang dibawa arus itu,
sekali lompat saja seluruh tanggungan hati akan hanyut ikut bersama
bangkainya di dasar laut. Pertemuannya dengan seorang tukang getek
membukakan pintu hatinya, ia pergi ke kota untuk melanjutkan
cita-citanya.
Empat bulan telah berlalu, dengan pekerjaannya sekarang, Tamin tidak
dapar merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakanya di sawah. Sesuatu
yang tak terduga olehnya, ia bertemu dengan Pak Banji, yang menceritakan
semuannya kepadanya, tentang kematian ayahnya dan panen padi
keluarganya. Kesedihan menyelimuti hatinya, dengan tekad bulat ia
kembali ke desa, mengunjungi makam ayahnya dan ia berjanji tidak akan
meninggalkan orang yang dicintainya lagi. Kedatangannya disambut dengan
hangat oleh ibu dan adiknya, Sumi.
0 komentar:
Posting Komentar